Rabu, 21 Oktober 2009

UU Guru dan Dosen

Undang-Undang Guru dan Dosen

I. Pendahuluan

Perdebatan tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Guru dan Dosen (awalnya hanya menyebut tentang RUU Guru), yang merupakan hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) usai sudah, sejalan dengan disyahkannya RUU tersebut menjadi Undang-Undang (UU) yakni UU No. 14 pada tanggal 30 Desember 2005. Substansi perdebatan kebanyakan menyangkut masalah kewenangan dan kesejahteraan guru, termasuk guru swasta. Kewenangan yang dimaksud berkaitan dengan perancangan kurikulum, proses pembelajaran hingga evaluasi pembelajaran. Jika selama ini kewenangan itu cenderung berada di tangan pejabat atau instansi yang lebih tinggi kemudian berubah menjadi wewenang guru yang bersangkutan (self construct). Tujuannya agar guru menjadi lebih mandiri dan berdaya (development form within). Meskipun disadari bahwa dalam implementasinya tidak akan mudah, apalagi lebih kurang 30 tahun guru dibuat tidak berdaya, yang pasti dengan adanya UU ini menunjukkan adanya kemauan dan keputusan politik untuk membuat terutama guru lebih mandiri dan berdaya.
Fokus perdebatan kedua berkaitan dengan kesejahteraan guru dan dosen. Selama ini, kesejahteraan guru dan juga dosen sangat rendah. Hal ini ditambah pula dengan embel-embel kepada guru yang mendapat sebutan “tanpa tanda jasa.” Embel-embel ini juga menandakan bahwa kesejahteraan guru dan dosen bukanlah prioritas. Sebaliknya publik selalu menuntut agar guru dan dosen bermutu dan profesional. Tidak berhenti sampai disitu, disebut pula bahwa guru dan dosen adalah penentu mutu sumber daya manusia di masa depan. Adanya kenyataan yang bertolakbelakang tersebut mengindikasikan bahwa profesi guru dan dosen dibutuhkan tetapi diabaikan. Dengan demikian ada kesenjangan antara tuntutan dengan pemenuhan kebutuhan untuk mencapai tuntutan tersebut.
Tulisan ini mencoba untuk membedah substansi UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Titik berat analisis dilakukan pada 3 (tiga) hal pokok, yaitu (1) kewenangan (authority); (2) sertifikasi dan gelar akademik; dan (3) kesejahteraan. Kemudian, dua hal penting lainnya juga akan disinggung seperti rekrutmen dan perpindahan (mutasi)


II. Pemberdayaan Guru dan Dosen

Dengan disyahkannya UU ini sebenarnya menjadi lebih jelas bahwa pemerintah bersama legislatif memiliki komitmen untuk memberdayakan guru dan dosen. Pemberdayaan dimaksud ditunjukkan dengan adanya pengakuan bahwa guru dan dosen adalah profesi yang memiliki wewenang penuh dalam bidang akademik (pasal 2 dan 3). Disamping itu UU ini juga dengan tegas mengatur hak dan kewajiban (pasal 14 dan 51) dan perlindungan terhadap guru dan dosen (pasal 39 dan 75). Selama ini kewenangan dimaksud, kecuali untuk dosen, samar-samar adanya. Dalam bidang akademik misalnya, guru sering kali dijadikan objek dan bukan subjek dari proses pembelajaran. Dalam menentukan materi pembelajaran dan buku ajar yang digunakan, guru cenderung didikte dari atas, seperti kepala sekolah, kepala cabang dinas atau bahkan kepala dinas pendidikan di tingkat kabupaten atau kota. Belum lagi dalam hal melakukan evaluasi belajar tahap akhir nasional (EBTANAS), guru hanya berperan melakukan tugas sesuai dengan petunjuk pelaksanaan. Artinya, guru tidak berperan membuat soal, tetapi hanya mengawas, mengoreksi sesuai dengan kode jawaban dan merekap hasil ujian siswa. Guru tidak atau kurang diberi kesempatan untuk membuat sendiri soal ujian yang akan dikerjakan oleh siswa.
Kondisi di atas mengakibatkan para guru umumnya kurang mandiri dalam menyusun rancangan dan proses pembelajaran. Kekurangmandirian itu terlihat manakala mereka dimintakan untuk membuat Satuan Acara Pengajaran. Sebabnya adalah bahwa di buku pelajaran sudah lengkap SAP-nya, sehingga mereka cenderung meniru saja apa yang ada di buku tersebut. Idealnya guru harus mampu menyusun sendiri SAP sesuai dengan keadaan siswa, kondisi dan lingkungan sekolah. Akan tetapi, karena selama ini mereka tidak diberdayakan, maka hasilnya adalah demikian. Harapan kita semua itu akan berubah sejalan dengan amanah pasal 20 butir a yang menyebutkan bahwa,” dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.”
Agak berbeda dengan yang dialami oleh dosen. Dosen lebih mandiri dalam proses pembelajaran. SAP, Sillabus dan GBPP dirancang sendiri oleh dosen yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dan juga lapangan kerja. Dosen hanya diberi rambu-rambu dalam penyusunan ketiga komponen di atas.
Hal pokok kedua yang diatur dalam UU ini adalah tentang sertifikasi dan gelar akademik guru dan dosen (pasal 8 dan 45). Perihal sertifikasi adalah sangat logis sejalan dengan sebutan guru dan dosen sebagai profesi. Hanya saja yang masih patut dikaji lebih mendalam adalah siapa yang mengeluarkan serifikat pendidik itu. Memang pada pasal 11 ayat (2) dan pasal 47 ayat butir c telah ditetapkan bahwa Perguruan Tinggi (PT) yang mengeluarkan sertifikat pendidik adalah PT yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal itu berarti bahwa Universitas eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang paling berpeluang untuk menyelenggarakan program sertifikasi dimaksud. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan universitas yang memiliki Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)? Bagaimana pula Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP)?
Jika misalnya Universitas eks IKIP sebagai lembaga penyelenggara sertifikasi, maka berbagai pertanyaan lain akan muncul seperti lembaga mana yang memberikan sertifikat pendidik bagi calon pengajar atau tutorialnya? Apakah dapat dikatakan bahwa mereka yang telah memiliki Aktar Mengajar IV dan V langsung dianggap telah memiliki sertifikat pendidik? Dengan tidak bermaksud mengecilkan kemampuan Universitas eks IKIP, apakah para dosen yang berasal dari universitas terkemuka di Indonesia seperti UI, UGM, ITB, IPB bersedia untuk mengikuti program tersebut ?
Untuk itu, meskipun sudah diatur dalam UU, sebaiknya masalah lembaga pemeberi sertifikasi harus bersifat longgar (tidak kaku). Maksudnya adalah bahwa perlu dibentuk lembaga khusus yang menangani program sertifikasi dengan melibatkan unsur universitas, baik dari kependidikan dan non-kependidikan. Semuanya dijaring dan diseleksi kemudian mereka dilatih oleh dosen-dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik atau yang sudah dianggap memiliki kemampuan untuk itu, bila perlu dari luar negeri. Setelah mereka dilatih, berikutnya adalah menyiapkan calon pelatih dari daerah-daerah. Dengan tersedianya pelatih dimaksud di seluruh daerah barulah kemudian diselenggarakan program sertifikasi.
Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan kepada semua lembaga pemerintah dan swasta yang bergerak dalam bidang pendidikan untuk menyelenggarakan program sertifikasi setelah mendapat akreditasi dari pemerintah.
Sementara itu, menyangkut gelar akademik tentunya juga tidak menjadi masalah. Dikatakan demikian, karena memang sudah waktunya gelar akademik ditingkatkan. Hanya saja yang perlu ditekankan adalah kesesuaian bidang ilmunya, khususnya bagi dosen. Sedapat mungkin gelar akademik dosen berkaitan antara jenjang S1-nya dengan S2 atau S3-nya. Sebab ada dosen yang memiliki gelar S2 atau S3 yang tidak berkaitan jenjang S1-nya atau dengan program studi yang diselenggarakan. Dampak negatif dari kasus yang demikian adalah kurang bermanfaatnya ilmu yang diperoleh bagi pengembangan program studi.
Hal pokok ketiga yang penting dari UU ini adalah menyangkut kesejahteraan guru dan dosen. Ini jelas diatur dalam pasal 14 ayat (1) dan pasal 51 butir a yang menyebutkan bahwa, “ guru dan dosen berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.” Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan dan maslahat tambahan yang ditentukan oleh prestasinya.
Pengaturan jaminan kesejahteraan di atas tentunya merupakan kemajuan besar bagi guru dan dosen. Sebab faktor inilah yang selama ini yang diabaikan. Tidak heran orang lebih suka memilih bidang non-kependidikan karena menjadi guru atau dosen kurang menjanjikan dari segi kesejahteraan. Selama ini kita menuntut agar guru dan dosen bermutu, tetapi dengan kesejahteraan yang sangat-sangat minim. Orang awam bilang ‘tidak nyambung.’ Karenanya, jangan heran jika selama ini muncul istilah guru biasa di luar dan dosen biasa di luar. Maksudnya adalah, mereka lebih banyak berkiprah untuk mencari tambahan di luar institusinya hanya untuk menambah pendapatan.
Selain bagi guru dan dosen negeri, UU ini juga memperhatikan kesejahteraan guru dan dosen swasta. Perhatian itu ditunjukkan melalui pemberian tunjangan profesi sebesar gaji pokok guru dan dosen pada tingkat, masa kerja dan kualifikasi yang sama (pasal 16 ayat (2) dan pasal 55 ayat (2). Hanya saja, tunjangan profesi in baru diberikan kepada guru dan dosen swasta yang telah memilki sertikat pendidik.
Kekhawatiran yang lain adalah berkaitan dengan apakah isi pasal dimaksud dapat diimplementasikan? Lebih spesifik lagi adalah apakah anggaran publik (APBN dan APBD) tersedia? (pasal 16 ayat (3). Sebab sebagaimana diketahui bahwa dari sekitar 4 juta Pegawai Negeri Sipil (PNS), lebih 50% adalah guru dan dosen. Kemudian jika ditambah lagi dengan guru dan dosen swasta tentunya akan berlipat ganda. Sebagai contoh kecil saja misalkan jumlah guru dan dosen swasta 20 juta orang (10 kali lipat dari guru dan dosen negeri) dengan tunjangan profesi rata-rata Rp 800.000,- per bulan (Upah Minimum Propinsi sekitar Rp 800.000,- per bulan). Maka untuk itu harus disediakan anggaran publik sebesar Rp 16 trilyun per bulan.
Kekhawatiran di atas sangat beralasan, sebab anggaran pendidikan kita pada tahun 2005 hanya sekitar 9 % dari total APBN dan masih sangat jauh dari angka 20 % dari total APBN sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ( yang dimaksud dengan anggaran pendidikan adalah anggaran yang dikelola untuk bidang pendidikan di bawah departemen pendidikan nasional dan tidak termasuk anggaran pendidikan yang diselenggarakan oleh departemen lain, seperti departemen keuangan, departemen dalam negeri, dan lain-lain yang disebut dengan pendidikan kedinasan). Barulah pada T.A. 2008/2009 (tiga tahun setelah diundangkan) anggaran pendidikan sebesar 20% dipenuhi pemerintah, itupun setelah Mahkamah Konstitusi memerintahkannya.
Dua hal lain yang tidak kalah pentingnya substansi UU guru dan dosen adalah rekrutmen (pasal 25 dan 63) dan perpindahan (pasal 28 dan 66) guru dan dosen. Selama ini rekrutmen guru dan dosen boleh dikatakan lebih cenderung bersifat spoil system daripada merit system. Jika sudah demikian adanya, maka tidak heran jika sumber daya manusia kita kurang bermutu. Karena apa? Karena mereka yang direkrut untuk mendidiknya adalah yang kurang bermutu. Untuk dosen misalnya, tidak banyak universitas yang merekrut dosennya yang merupakan lulusan terbaik (the best). Sebaliknya, melalui pola merit system diharapkan mereka yang akan menjadi guru dan dosen adalah para lulusan yang terbaik. Dengan demikian, maka sumber daya manusia bermutu yang kita cita-citakan akan terwujud.
Selanjutnya menyangkut perpindahan guru (karena dosen sangat jarang untuk pindah) dari satu tempat ke tempat lain memang patut diatur. Hal ini untuk menghindarkan persepsi yang berkembang setelah implementasi otonomi daerah. Persepsi dimaksud adalah bahwa seolah-olah guru tidak boleh pindah antar kabupaten atau kota dalam satu propinsi apalagi antar propinsi. Jadi, seolah-olah Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya tinggal nama saja. Dengan pengaturan tersebut, maka tidak boleh ada daerah kabupaten atau kota atau propinsi yang menolak perpindahan guru dengan alasan berbeda kabupaten/kota atau propinsi.

III. Konklusi

Keluarnya UU guru dan dosen menegaskan bahwa profesi guru dan dosen sangat dihargai dan keberadaannya dijamin. Artinya, guru dan dosen telah dilindungi oleh satu payung hukum yang tidak gampang untuk diubah. UU ini menjamin kewenangan, pengembangan diri, kesejahteraan, rekrutmen dan perpindahan guru dan dosen. Meskipun demikian, ada suatu kekhawatiran mendalam yaitu menyangkut implementasinya. Banyak faktor yang akan mempengaruhi implementasi UU ini seperti organisasi pelaksana, kemampuan aparat pelaksana, tingkat kepatuhan, anggaran publik dan lingkungan.



Sumber : marlanhutahaean.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar