Rabu, 28 Oktober 2009

TENAGA KEPENDIDIKAN

Kontroversi Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Profesi pendidik – khususnya guru dan dosen – menjadi sorotan menyongsong sertifikasi. Sertifikasi merupakan keharusan bagi pendidik untuk mengetahui kecakapan, tingkat mutu dan profesionalitas sehingga akan dihasilkan pendidik yang berkualitas. Dan pendidik yang berkualitas merupakan salah satu indikator dalam penjaminan mutu pendidikan.
Pendidik ibarat sopir yang bertugas mengangkut dan mengantar penumpang sampai kepada tujuan yang diharapkan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai seorang sopir sudah sewajarnya membutuhkan SIM (Surat Ijin Mengemudi) yang merupakan syarat wajib profesi ini.
Para penumpang tentu akan merasa tenang dan nyaman jika sopir telah memenuhi segala persyaratan yang telah diujikan. Tetapi sebaliknya jika sopir belum dan/ atau tidak mempunyai SIM apalagi sama sekali tidak lihai mengemudi maka penumpangnya akan cemas dan bingung akan diapakan dan dikemanakan.
Di masa mendatang pendidik diwajibkan mempunyai "SIM" (Surat Ijin Mengajar) yang hanya dapat dimiliki setelah lulus sertifikasi. Diharapkan dengan sertifikasi pendidik mampu mengantarkan penumpang sampai kepada tujuan dengan selamat dan memuaskan.
Peran tenaga kependidikan
Jika pendidik yang diibaratkan sebagai sopir yang telah mempunyai keahlian menyetir lantas apakah kemudian perjalanan (pendidikan) akan begitu saja terjamin keselamatannya? Ternyata tidak. Setidaknya kita harus memperhatikan kondisi mobil juga. Mulai dari hidup-tidaknya lampu sorot, berfungsi-tidaknya rem, bagus-tidaknya kondisi ban dan yang paling penting ketersediaan bahan bakar dan keadaan olinya.
Semua kelengkapan mobil itu yang selanjutnya dianalogikan sebagai tenaga kependidikan. Sopir dan kelengkapan mobil menjadi satu jiwa utuh dalam membawa penumpangnya menjadi lebih aman dan terjamin. Tenaga kependidikan sebagai penunjang inilah yang perlu menjadi perhatian sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 1 bahwa (peran) tenaga kependidikan adalah penunjang penyelenggaraan pendidikan.
Adilkah jika selama ini penilaian keberhasian pendidikan hanya diukur dari faktor pendidik (guru dan dosen) saja? Menurut hemat penulis, penilaian kesuksesan pendidikan seharusnya dilihat dari berbagai sudut pandang. Mulai dari pengaturan jadwal pembelajaran yang teratur, kelengkapan sarana-prasarana sekolah yang memadai dan memenuhi standar, kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekolah yang selalu terjaga, manajemen sekolah yang tegas serta supervisi yang ketat. Semua faktor itu adalah peran strategis tenaga kependidikan, apakah itu staf TU, pustakawan, laboran, pesuruh/ penjaga sekolah, pengawas sekolah dan kepala sekolah.
Tetapi sayangnya saat ini tenaga kependidikan belum diperhatikan sebagaimana pendidik. Suatu keprihatinan jika keduanya yang merupakan tenaga profesional dan juga berperan dalam peningkatan mutu pendidikan tidak disamakan. Pendidik – khususnya guru dan dosen – terkesan superior dan "dimanjakan" dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sedangkan tenaga kependidikan sampai saat ini pun belum mempunyai payung hukum yang menangani dan mengatur mereka secara jelas.
Disadari peningkatan mutu pendidikan masih memprioritaskan guru dan dosen sebagai kem udi pendidikan. Bisa jadi pemerintah masih menganggap peran pendidik yang dominan sebagai ujung tombak pendidikan. Tetapi apakah hanya dengan mengandalkan guru dan dosen saja pendidikan akan segera bermutu? Ibarat kesatuan sopir dan kelengkapan mobil tadi. Jika sopirnya lihai tetapi remnya blong, maka keselamatan tidak akan terjamin. Kalaupun sopirnya lihai tetapi lampu sorotnya mati, maka tidak akan bisa berjalan dengan tenang di malam hari.
Peningkatan mutu pendidikan seharusnya tidak boleh "menganak-emaskan" salah satu profesi. Karena profesi yang lain juga mempunyai peran untuk ikut andil menuju terciptanya pendidikan yang bermutu. Dan sampai saat ini peran kedua profesi tersebut masih menjadi kontroversi.

Faktor materi
Undang-Undang tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 1 dengan jelas menyebutkan bahwa keduanya (pendidik dan tenaga kependidikan) berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Tetapi dilihat secara materi, kelak pendidik (guru dan dosen) mempunyai gaji 2 kali dan/ atau bahkan 3 kali lebih besar dari gaji tenaga kependidikan. Demikian setidaknya amanat UU tentang guru dan dosen. Sedangkan gaji tenaga kependidikan berkutat pada nominal tunjangan yang kurang sebanding bila dibandingkan dengan tunjangan pendidik.
Faktor penghargaan secara materi inilah yang akhirnya mempengaruhi barometer kinerja tenaga kependidikan menjadi kurang bergairah. Tanpa adanya perhatian, perbaikan dan penghargaan dikhawatirkan akan muncul ketidakprofesionalan tenaga kependidikan. Hal ini diperparah oleh standar profesi dan kesejahteraan tenaga kependidikan yang selama ini hanya diatur dalam regulasi internal lembaga teknis yang menaunginya. (Kompas, 28 September 2006).

Setengah hati
Pemerintah rupanya masih setengah hati melihat peran tenaga kependidikan. Kondisi ini dapat dilihat dari Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 087/ U/ 2002 tentang Akreditasi Sekolah yang perlu ditindaklanjuti secara seksama. Dalam pasal 6 kepmen tersebut menyebutkan bahwa persyaratan sekolah yang diakreditasi harus memiliki sarana dan prasarana pendidikan (ayat c) dan tenaga kependidikan (ayat d).
Tetapi anehnya syarat itu hanya menjadi lelucon saja. Banyak sekolah yang memposisikan sarana dan prasarana (baca : perpustakaan, laboratorium) apa adanya. Bahkan tanpa menempatkan pustakawan ataupun laboran di dalamnya. Walhasil guru menjadi korban untuk ditugaskan mengurusnya. Tidak sedikit kemudian muncul "perpustakaan siluman". Wujud fisik perpustakaan hadir saat akreditasi saja, setelah itu lenyap entah kemana. Termasuk pustakawan di dalamnya.
Begitu juga nasib laboratorium. Banyak sekolah belum mempunyai laboran yang fokus mengurus laboratorium. Laboratorium hanya digunakan saat praktek mata pelajaran. Jarang sekali laboratorium digunakan untuk kepentingan ilmiah yang sifatnya penelitian mandiri oleh sivitas akademika. Dan sekali lagi peran laboran cukup hanya digantikan oleh seorang guru mata pelajaran.
Pustakawan dan laboran hanyalah sebagian contoh tenaga kependidikan yang saat ini masih menerima nasibnya dengan tidak jelas dan terkesan "terpinggirkan". Selama ini keberadaan mereka sebenarnya ada, tetapi terkesan tidak ada. Kalau kasus seperti ini masih saja terjadi, apakah pantas dinilai bahwa pendidikan telah bermutu?

Kesimpulan
Kegiatan belajar-mengajar tanpa peran tenaga kependidikan akan mengalami gangguan. Karenanya tenaga kependidikan perlu "pengakuan" dan penghargaan atas kinerjanya. Tenaga kependidikan – sebagaimana pendidik – juga perlu kejelasan hukum yang mengatur mereka. Tenaga kependidikan tidak akan berfungsi selama penghargaan tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan.
Jika kontroversi antara pendidik dan tenaga kependidikan tidak segera dituntaskan maka permasalahan pendidikan tidak akan terselesaikan. Bahkan akan menciptakan kesenjangan antara keduanya. Akhirnya menghambat percepatan peningkatan mutu pendidikan. Akankah?
Sumber : perpustakaan.lpmp-kalbar.net

Rabu, 21 Oktober 2009

UU Guru dan Dosen

Undang-Undang Guru dan Dosen

I. Pendahuluan

Perdebatan tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Guru dan Dosen (awalnya hanya menyebut tentang RUU Guru), yang merupakan hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) usai sudah, sejalan dengan disyahkannya RUU tersebut menjadi Undang-Undang (UU) yakni UU No. 14 pada tanggal 30 Desember 2005. Substansi perdebatan kebanyakan menyangkut masalah kewenangan dan kesejahteraan guru, termasuk guru swasta. Kewenangan yang dimaksud berkaitan dengan perancangan kurikulum, proses pembelajaran hingga evaluasi pembelajaran. Jika selama ini kewenangan itu cenderung berada di tangan pejabat atau instansi yang lebih tinggi kemudian berubah menjadi wewenang guru yang bersangkutan (self construct). Tujuannya agar guru menjadi lebih mandiri dan berdaya (development form within). Meskipun disadari bahwa dalam implementasinya tidak akan mudah, apalagi lebih kurang 30 tahun guru dibuat tidak berdaya, yang pasti dengan adanya UU ini menunjukkan adanya kemauan dan keputusan politik untuk membuat terutama guru lebih mandiri dan berdaya.
Fokus perdebatan kedua berkaitan dengan kesejahteraan guru dan dosen. Selama ini, kesejahteraan guru dan juga dosen sangat rendah. Hal ini ditambah pula dengan embel-embel kepada guru yang mendapat sebutan “tanpa tanda jasa.” Embel-embel ini juga menandakan bahwa kesejahteraan guru dan dosen bukanlah prioritas. Sebaliknya publik selalu menuntut agar guru dan dosen bermutu dan profesional. Tidak berhenti sampai disitu, disebut pula bahwa guru dan dosen adalah penentu mutu sumber daya manusia di masa depan. Adanya kenyataan yang bertolakbelakang tersebut mengindikasikan bahwa profesi guru dan dosen dibutuhkan tetapi diabaikan. Dengan demikian ada kesenjangan antara tuntutan dengan pemenuhan kebutuhan untuk mencapai tuntutan tersebut.
Tulisan ini mencoba untuk membedah substansi UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Titik berat analisis dilakukan pada 3 (tiga) hal pokok, yaitu (1) kewenangan (authority); (2) sertifikasi dan gelar akademik; dan (3) kesejahteraan. Kemudian, dua hal penting lainnya juga akan disinggung seperti rekrutmen dan perpindahan (mutasi)


II. Pemberdayaan Guru dan Dosen

Dengan disyahkannya UU ini sebenarnya menjadi lebih jelas bahwa pemerintah bersama legislatif memiliki komitmen untuk memberdayakan guru dan dosen. Pemberdayaan dimaksud ditunjukkan dengan adanya pengakuan bahwa guru dan dosen adalah profesi yang memiliki wewenang penuh dalam bidang akademik (pasal 2 dan 3). Disamping itu UU ini juga dengan tegas mengatur hak dan kewajiban (pasal 14 dan 51) dan perlindungan terhadap guru dan dosen (pasal 39 dan 75). Selama ini kewenangan dimaksud, kecuali untuk dosen, samar-samar adanya. Dalam bidang akademik misalnya, guru sering kali dijadikan objek dan bukan subjek dari proses pembelajaran. Dalam menentukan materi pembelajaran dan buku ajar yang digunakan, guru cenderung didikte dari atas, seperti kepala sekolah, kepala cabang dinas atau bahkan kepala dinas pendidikan di tingkat kabupaten atau kota. Belum lagi dalam hal melakukan evaluasi belajar tahap akhir nasional (EBTANAS), guru hanya berperan melakukan tugas sesuai dengan petunjuk pelaksanaan. Artinya, guru tidak berperan membuat soal, tetapi hanya mengawas, mengoreksi sesuai dengan kode jawaban dan merekap hasil ujian siswa. Guru tidak atau kurang diberi kesempatan untuk membuat sendiri soal ujian yang akan dikerjakan oleh siswa.
Kondisi di atas mengakibatkan para guru umumnya kurang mandiri dalam menyusun rancangan dan proses pembelajaran. Kekurangmandirian itu terlihat manakala mereka dimintakan untuk membuat Satuan Acara Pengajaran. Sebabnya adalah bahwa di buku pelajaran sudah lengkap SAP-nya, sehingga mereka cenderung meniru saja apa yang ada di buku tersebut. Idealnya guru harus mampu menyusun sendiri SAP sesuai dengan keadaan siswa, kondisi dan lingkungan sekolah. Akan tetapi, karena selama ini mereka tidak diberdayakan, maka hasilnya adalah demikian. Harapan kita semua itu akan berubah sejalan dengan amanah pasal 20 butir a yang menyebutkan bahwa,” dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.”
Agak berbeda dengan yang dialami oleh dosen. Dosen lebih mandiri dalam proses pembelajaran. SAP, Sillabus dan GBPP dirancang sendiri oleh dosen yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dan juga lapangan kerja. Dosen hanya diberi rambu-rambu dalam penyusunan ketiga komponen di atas.
Hal pokok kedua yang diatur dalam UU ini adalah tentang sertifikasi dan gelar akademik guru dan dosen (pasal 8 dan 45). Perihal sertifikasi adalah sangat logis sejalan dengan sebutan guru dan dosen sebagai profesi. Hanya saja yang masih patut dikaji lebih mendalam adalah siapa yang mengeluarkan serifikat pendidik itu. Memang pada pasal 11 ayat (2) dan pasal 47 ayat butir c telah ditetapkan bahwa Perguruan Tinggi (PT) yang mengeluarkan sertifikat pendidik adalah PT yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal itu berarti bahwa Universitas eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang paling berpeluang untuk menyelenggarakan program sertifikasi dimaksud. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan universitas yang memiliki Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)? Bagaimana pula Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP)?
Jika misalnya Universitas eks IKIP sebagai lembaga penyelenggara sertifikasi, maka berbagai pertanyaan lain akan muncul seperti lembaga mana yang memberikan sertifikat pendidik bagi calon pengajar atau tutorialnya? Apakah dapat dikatakan bahwa mereka yang telah memiliki Aktar Mengajar IV dan V langsung dianggap telah memiliki sertifikat pendidik? Dengan tidak bermaksud mengecilkan kemampuan Universitas eks IKIP, apakah para dosen yang berasal dari universitas terkemuka di Indonesia seperti UI, UGM, ITB, IPB bersedia untuk mengikuti program tersebut ?
Untuk itu, meskipun sudah diatur dalam UU, sebaiknya masalah lembaga pemeberi sertifikasi harus bersifat longgar (tidak kaku). Maksudnya adalah bahwa perlu dibentuk lembaga khusus yang menangani program sertifikasi dengan melibatkan unsur universitas, baik dari kependidikan dan non-kependidikan. Semuanya dijaring dan diseleksi kemudian mereka dilatih oleh dosen-dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik atau yang sudah dianggap memiliki kemampuan untuk itu, bila perlu dari luar negeri. Setelah mereka dilatih, berikutnya adalah menyiapkan calon pelatih dari daerah-daerah. Dengan tersedianya pelatih dimaksud di seluruh daerah barulah kemudian diselenggarakan program sertifikasi.
Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan kepada semua lembaga pemerintah dan swasta yang bergerak dalam bidang pendidikan untuk menyelenggarakan program sertifikasi setelah mendapat akreditasi dari pemerintah.
Sementara itu, menyangkut gelar akademik tentunya juga tidak menjadi masalah. Dikatakan demikian, karena memang sudah waktunya gelar akademik ditingkatkan. Hanya saja yang perlu ditekankan adalah kesesuaian bidang ilmunya, khususnya bagi dosen. Sedapat mungkin gelar akademik dosen berkaitan antara jenjang S1-nya dengan S2 atau S3-nya. Sebab ada dosen yang memiliki gelar S2 atau S3 yang tidak berkaitan jenjang S1-nya atau dengan program studi yang diselenggarakan. Dampak negatif dari kasus yang demikian adalah kurang bermanfaatnya ilmu yang diperoleh bagi pengembangan program studi.
Hal pokok ketiga yang penting dari UU ini adalah menyangkut kesejahteraan guru dan dosen. Ini jelas diatur dalam pasal 14 ayat (1) dan pasal 51 butir a yang menyebutkan bahwa, “ guru dan dosen berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.” Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan dan maslahat tambahan yang ditentukan oleh prestasinya.
Pengaturan jaminan kesejahteraan di atas tentunya merupakan kemajuan besar bagi guru dan dosen. Sebab faktor inilah yang selama ini yang diabaikan. Tidak heran orang lebih suka memilih bidang non-kependidikan karena menjadi guru atau dosen kurang menjanjikan dari segi kesejahteraan. Selama ini kita menuntut agar guru dan dosen bermutu, tetapi dengan kesejahteraan yang sangat-sangat minim. Orang awam bilang ‘tidak nyambung.’ Karenanya, jangan heran jika selama ini muncul istilah guru biasa di luar dan dosen biasa di luar. Maksudnya adalah, mereka lebih banyak berkiprah untuk mencari tambahan di luar institusinya hanya untuk menambah pendapatan.
Selain bagi guru dan dosen negeri, UU ini juga memperhatikan kesejahteraan guru dan dosen swasta. Perhatian itu ditunjukkan melalui pemberian tunjangan profesi sebesar gaji pokok guru dan dosen pada tingkat, masa kerja dan kualifikasi yang sama (pasal 16 ayat (2) dan pasal 55 ayat (2). Hanya saja, tunjangan profesi in baru diberikan kepada guru dan dosen swasta yang telah memilki sertikat pendidik.
Kekhawatiran yang lain adalah berkaitan dengan apakah isi pasal dimaksud dapat diimplementasikan? Lebih spesifik lagi adalah apakah anggaran publik (APBN dan APBD) tersedia? (pasal 16 ayat (3). Sebab sebagaimana diketahui bahwa dari sekitar 4 juta Pegawai Negeri Sipil (PNS), lebih 50% adalah guru dan dosen. Kemudian jika ditambah lagi dengan guru dan dosen swasta tentunya akan berlipat ganda. Sebagai contoh kecil saja misalkan jumlah guru dan dosen swasta 20 juta orang (10 kali lipat dari guru dan dosen negeri) dengan tunjangan profesi rata-rata Rp 800.000,- per bulan (Upah Minimum Propinsi sekitar Rp 800.000,- per bulan). Maka untuk itu harus disediakan anggaran publik sebesar Rp 16 trilyun per bulan.
Kekhawatiran di atas sangat beralasan, sebab anggaran pendidikan kita pada tahun 2005 hanya sekitar 9 % dari total APBN dan masih sangat jauh dari angka 20 % dari total APBN sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ( yang dimaksud dengan anggaran pendidikan adalah anggaran yang dikelola untuk bidang pendidikan di bawah departemen pendidikan nasional dan tidak termasuk anggaran pendidikan yang diselenggarakan oleh departemen lain, seperti departemen keuangan, departemen dalam negeri, dan lain-lain yang disebut dengan pendidikan kedinasan). Barulah pada T.A. 2008/2009 (tiga tahun setelah diundangkan) anggaran pendidikan sebesar 20% dipenuhi pemerintah, itupun setelah Mahkamah Konstitusi memerintahkannya.
Dua hal lain yang tidak kalah pentingnya substansi UU guru dan dosen adalah rekrutmen (pasal 25 dan 63) dan perpindahan (pasal 28 dan 66) guru dan dosen. Selama ini rekrutmen guru dan dosen boleh dikatakan lebih cenderung bersifat spoil system daripada merit system. Jika sudah demikian adanya, maka tidak heran jika sumber daya manusia kita kurang bermutu. Karena apa? Karena mereka yang direkrut untuk mendidiknya adalah yang kurang bermutu. Untuk dosen misalnya, tidak banyak universitas yang merekrut dosennya yang merupakan lulusan terbaik (the best). Sebaliknya, melalui pola merit system diharapkan mereka yang akan menjadi guru dan dosen adalah para lulusan yang terbaik. Dengan demikian, maka sumber daya manusia bermutu yang kita cita-citakan akan terwujud.
Selanjutnya menyangkut perpindahan guru (karena dosen sangat jarang untuk pindah) dari satu tempat ke tempat lain memang patut diatur. Hal ini untuk menghindarkan persepsi yang berkembang setelah implementasi otonomi daerah. Persepsi dimaksud adalah bahwa seolah-olah guru tidak boleh pindah antar kabupaten atau kota dalam satu propinsi apalagi antar propinsi. Jadi, seolah-olah Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya tinggal nama saja. Dengan pengaturan tersebut, maka tidak boleh ada daerah kabupaten atau kota atau propinsi yang menolak perpindahan guru dengan alasan berbeda kabupaten/kota atau propinsi.

III. Konklusi

Keluarnya UU guru dan dosen menegaskan bahwa profesi guru dan dosen sangat dihargai dan keberadaannya dijamin. Artinya, guru dan dosen telah dilindungi oleh satu payung hukum yang tidak gampang untuk diubah. UU ini menjamin kewenangan, pengembangan diri, kesejahteraan, rekrutmen dan perpindahan guru dan dosen. Meskipun demikian, ada suatu kekhawatiran mendalam yaitu menyangkut implementasinya. Banyak faktor yang akan mempengaruhi implementasi UU ini seperti organisasi pelaksana, kemampuan aparat pelaksana, tingkat kepatuhan, anggaran publik dan lingkungan.



Sumber : marlanhutahaean.wordpress.com

Sabtu, 10 Oktober 2009

Biodata Diri

BIODATA DIRI

Nama saya Sukiswo lahir di Pekalongan Jawa Tengah pada tanggal 1 Juni 1989, anak pertama dari dua bersaudara. Ketika ibu mengandung saya sebagai anak pertama, ibu tinggal di desa di Jawa Tengah bersama kakek dan nenek saya. Ibu sebelumnya adalah seorang penjahit yang bekerja di sebuah pabrik konveksi, tetapi harus berhenti bekerja karena kandungannya yang semakin besar sementara ayah pergi merantau ke Jakarta untuk mencari nafkah dengan menjadi pedagang tempe keliling sehingga ayah jarang pulang.

Sejak dilahirkan sampai usia 2 tahun ibu dan bibi yang merawat saya sementara ayah hanya beberapa kali saja pulang karena keterbatasan biaya, ketika usia 2 tahun ayah pulang dan mengajak ibu serta saya untuk ikut merantau ke Jakarta. Di Jakarta kami sekeluarga tinggal di sebuah pabrik tempe, sebuah tempat yang terdapat beberapa kamar beserta tempat pembuatan tempe dan perlengkapannya yang dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Ayah berdagang tempe keliling dan ibu membantu ketika pembuatan tempe sementara saya bermain dengan teman sebaya. Tempat tinggal kami dekat dengan sungai Ciliwung sehingga sering terjadi banjir dengan ketinggian 2 meter, tetapi saya tidak merasa sedih ataupun takut. Seperti anak-anak yang lain ketika banjir mereka akan merasa senang bermain air di daerah yang banjirnya dangkal begitupun saya.

Pada saat usia saya 7 tahun ayah memutuskan pindah dari Jakarta karena seringnya banjir yang berbahaya bagi kami sekeluarga. Ayah memutuskan pindah ke daerah Bogor tepatnya di Desa Ciluar Kecamatan Sukaraja. Kami tinggal di dekat pasar, ayah berdagang toge di pasar sementara ibu mengasuh adikku yang masih bayi dan saya disekolahkan di SDN Pasir Laja 4 yang tidak jauh dari rumah. Pada saat usia saya 12 tahun kami sekeluarga pindah, masih di daerah Bogor tepatnya di Desa Pakansari Kecamatan Cibinong, di tempat baru ayah bekerja sebagai agen penyalur kacang kedelai untuk penjual tahu dan tempe. Sementara ibu berjualan toge di pasar dan saya masih bersekolah di SDN Pasir Laja 4, walaupun sekarang memakan waktu setengah jam perjalanan dari rumah ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum.

Setelah lulus sekolah dasar saya melanjutkan sekolah di SLTP N 1 Cibinong, dengan teman baru dan peraturan yang lebih ketat. Ayah sibuk dengan pekerjaan sehingga jarang menanggapi masalah belajar saya, sementara ibu membebaskan cara belajar saya dan membantu belajar bila saya membutuhkan dan meminta tolong dalam belajar di rumah. Ayah dan ibu jarang memarahi saya, mungkin karena saya adalah anak yang penurut dan kesalahan yang saya lakukan sering mereka hadapi dengan nasehat ringan saja. Ayah dan ibu menganggap kesalahan yang saya lakukan sebagai pelajaran dan bekal pengalaman saya di waktu mendatang, tapi walaupun jarang dimarahi saya tetap menanamkan rasa hormat pada kedua orang tua saya.

Lulus dari SLTP saya melanjutkan sekolah di SMK N 2 Kota Bogor. Di SMK saya memilih jurusan mesin, banyak ilmu dan pengalaman yangsaya dapatkan di SMK dengan praktek-praktek mesin yang tidak di dapatkan di SLTP. Banyak pula pengaruh yang timbul dari teman-teman di SMK, baik pengaruh yang positif seperti kekompakan, rasa solidaritas dan saling menghargai maupun pengaruh yang negatif seperti tawuran, minuman keras dan judi. Lulus dari SMK saya melanjutkan ke Universitas Negeri Jakarta, di perguruan tinggi sayalah yang mengatur hal yang harus saya kerjakan dengan memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri. Ibu lebih banyak mengajari adik saya yang masih SMP, sementara saya diberi kepercayaan untuk belajar sendiri dan nasehat agar lebih bertanggung jawab dengan apa yang saya kerjakan serta tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang negatif.

Jumat, 09 Oktober 2009

artikel

PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL


Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Amirul Mukminin
Saya Dosen di UPT - Kebahasaan UNJA/ASM Jambi, Manager LPK Bahasa Inggris-MEC
Tanggal: 23 January 2003
Judul Artikel: PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL
Topik: Pendidikan Nasional

Artikel: Oleh Amirul Mukminin

Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.

Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?

Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.

PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.

Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.

Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).

Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.

Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.

Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.

Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.

Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.

Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.

Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?

Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.

Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.

Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.

PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.

Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.

Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?

Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.

Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.

Amirul Mukminin
Staf Pengajar UPT - Kebahasaan UNJA /ASM Jambi,
Manejer LPK Bahasa Inggris -MEC di Jambi